Monday, December 14, 2015

Teori Broken Windows Dan Kriminalitas

jendela pecah
Broken Window Theory, atau Teori jendela pecah digagas oleh ilmuwan sosial James Q. Wilson dan George L. Kelling yang diterbitkan pada Maret 1982 di “The Atlantic Monthly”. Teori ini berargumen bahwa apabila kejahatan ataupun ketidakteraturan dalam skala kecil dibiarkan tanpa ditindaklanjuti, maka akan lebih banyak orang melakukan hal yang sama dan bahkan menyebabkan terjadinya kejahatan dalam skala yang lebih besar. Nama teori ini didapat dari hasil observasi bahwa beberapa jendela yang pecah tanpa diperbaiki pada sebuah rumah akan memicu orang-orang untuk memecahkan jendela lainnya, melakukan aksi vandalisme dan bahkan membobol masuk. 

Sebelum Kelling dan Wilson merumuskan teori ini, Seorang Psikolog dari Universitas Stanford, Philip Zimbardo, melakukan percobaan pada tahun 1969. Zimbardo menempatkan dua mobil yang sama di dua tempat yang berbeda. Kedua mobil tersebut tidak memiliki plat dan sengaja dibuka bagian kapnya. Satu mobil ditaruh di daerah kumuh di Bronx, New York dan satu mobil lainnya ditaruh di daerah Palo Alto, California. Dalam waktu 24 jam, mobil yang berada di daerah Bronx sudah dicuri bagian-bagian berharganya sedangkan mobil lainnya di Palo Alto sama sekali tidak disentuh hingga lebih dari satu minggu. Melihat hal itu Zimbardo lalu mengambil palu dan memukulkannya ke mobil tersebut. Orang-orang yang melihat apa yang dilakukan Zimbardo, satu per satu mulai ikut menghancurkan mobil itu hanya dalam waktu beberapa jam saja. 

Zimbardo memperhatikan bahwa dalam lingkungan kumuh seperti Bronx, dimana masyarakat setempatnya cenderung apatis, vandalisme terjadi jauh lebih cepat dan lebih sering, bahkan dipandang sebagai sesuatu yang biasa. Akan tetapi kejadian serupa ternyata juga bisa terjadi dimana saja bahkan di lingkungan seperti Palo Alto, yang masyarakatnya cenderung lebih mapan. Yang diperlukan hanyalah sebuah kejadian yang mendorong tumbuhnya sikap apatis. 

Penerapan Teori “Broken Windows” 

New York, Amerika Serikat 
Pada tahun 1985, George Kelling diangkat menjadi konsultan untuk Otoritas Transit New York. Pada masa itu angka kejahatan di New York mencapai 650,000 kasus per tahun. Kelling bersama dengan direktur subway, David Gunn, memberlakukan kebijakan baru dalam pengelolaan subway. Gunn dan Kelling tidak mengambil tindakan drastis dengan cara misalnya mengerahkan polisi bersenjata di tiap stasiun Subway atau memperketat sistem keamanan secara berlebihan. Sebaliknya, Gunn melakukan hal yang sederhana : Membersihkan setiap coretan (graffiti) di setiap kereta maupun stasiun subway. Menurut Gunn, grafiti merupakan simbol dari sistem yang tidak berjalan dengan baik, representasi dari “jendela pecah” yang tidak segera diperbaiki. Atas perintah Gunn, setiap kereta yang baru selesai dicoret-coret segera dibersihkan pada malam hari sehingga semua kereta yang digunakan besoknya bersih tanpa coretan. 

 Pada tahun 1990, William J Bratton menjadi kepala polisi transit kota New York. Bratton, yang menganggap Kelling sebaga mentornya, dengan dukungan penuh dari Walikota New York, Rudy Giuliani, menerapkan teori ini dalam skala yang lebih luas. Bratton dan Giuliani menargetkan pelanggaran-pelanggaran kecil yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan : minum-minuman keras di tempat umum, buang air kecil di sembarang tempat, mencorat-coret fasilitas umum, dan sebagainya. 

Meskipun banyak orang yang memprotes (kebanyakan memandang dengan perspektif “mengapa mengurusi hal-hal kecil padahal banyak hal lebih besar yang perlu diperhatikan?”), namun Bratton dan Giuliani tetap jalan terus. Akhirnya, menurut studi pada tahun 2001, trend kriminalitas di kota New York menurun drastic, baik kejahatan besar maupun kecil, dan terus menurun hingga 10 tahun berikutnya. 

Albuquerque, New Mexico 
Sukses serupa juga dialami di Albuquerque, New Mexico pada akhir tahun 1990-an. Dengan asumsi bahwa orang Amerika bagian barat menggunakan jalan raya dengan cara yang hampir sama dengan orang New York menggunakan subway, inisiator dari program ini menitikberatkan pada penerapan aturan kendaraan di jalan raya. 

Lowell, Massachusetts 
Pada tahun 2005, Peneliti dari Universitas Harvard dan Suffolk bekerja sama dengan polisi untuk mengidentifikasi 34 titik kriminal di kota Lowell, Massachusetts. Pada separuh dari titik ini, mereka membersihkan sampah, memperbaiki tiang lampu, meningkatkan bantuan untuk para tunawisma, menangkap pelanggar hukum kecil-kecilan, sedangkan pada separuh titik yang lain, mereka tidak melakukan perubahan apapun. 

Hasilnya terlihat beberapa waktu kemudian. Daerah yang mendapat perhatian khusus menunjukkan penurunan angka kriminalitas hingga 20%. Studi ini juga menyimpulkan, bahwa membersihkan lingkungan sekitar dan memperbaiki fasilitas yang rusak memiliki efek lebih besar daripada menangkap pelanggar hukum kecil-kecilan, sedangkan peningkatkan fasilitas sosial tidak memberikan efek apapun. 

Belanda 
Pada tahun 2007 & 2008, Kees Keizer dan rekan-rekannya dari Universitas Groningen melakukan percobaan untuk meneliti apakah ketidakteraturan kecil (seperti sampah di sembarang tempat atau coretan graffiti) berpengaruh terhadap kejadian kriminal yang lebih besar seperti pencurian. 

Mereka memilih beberapa lokasi. Pada suatu lokasi, mereka membuat segalanya teratur, bersih dari segala macam coretan, tidak ada jendela yang pecah dan sebagainya. Sedangkan pada lokasi lain, mereka secara sengaja membuat coret-coretan di beberapa tempat, memecahkan beberapa kaca jendela, dan menempatkan sampah secara sembarangan. Mereka kemudian memonitor kedua lokasi dan memperhatikan apakah orang-orang akan berlaku secara berbeda di kedua lingkungan tersebut. 


Hasil dari penelitian ini ternyata mendukung teori broken window. Hasil dari penelitian ini kemudian dimuat di Science Journal dengan judul “The Spreading of Disorder

Monday, October 8, 2012

Jika Indonesia Hanya Dihuni 100 Orang Saja


peta indonesia
Jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai sekitar 240 juta jiwa. Jumlah yang cukup banyak, yang menjadikan Indonesia sebagai negara ke 4 dengan populasi terbesar di dunia.
Nah, untuk memberikan gambaran mengenai profil penduduk Indonesia secara lebih mudah, mari kita berandai-andai bagaimana jika Indonesia hanya dihuni oleh 100 orang saja?

Jenis kelamin dan status perkawinan
50 orang adalah laki-laki:
19 orang belum kawin (lajang)
30 orang sudah kawin
1   orang bercerai / ditinggal mati istri

50 orang adalah perempuan:
14 orang belum kawin (lajang)
30 orang sudah kawin
1   orang bercerai
5   orang ditinggal mati suami

Tempat tinggal berdasarkan provinsi
18 orang tinggal di Jawa Barat
16 orang tinggal di Jawa Timur
14 orang tinggal di Jawa Tengah
5   orang tinggal di Sumatera Utara
4   orang tinggal di Banten
4   orang tinggal di Jakarta
3   orang tinggal di Sulawesi Selatan
3   orang tinggal di Sumatera Selatan
3   orang tinggal di Lampung
30 orang tinggal  di Provinsi lain

Pendidikan
7   orang tidak bersekolah
13 orang bersekolah, tapi tidak tamat SD
30 orang tamat SD / sederajat
20 orang tamat SMP / sederajat
23 orang tamat SMA / sederajat
7   orang tamat perguruan tinggi
Dari 100 orang tersebut, 90 orang bisa membaca dan menulis,10 orang buta huruf.

Jumlah penduduk berdasarkan umur
0-14 tahun         : 27 orang
15-64 tahun       : 67 orang
Di atas 65 tahun : 6   orang

Tempat tinggal (desa/kota)
44 tinggal di kota,
56 tinggal di pedesaan

Agama
85 orang beragama Islam
9   orang beragama Kristen
3   orang beragama Katholik
1   orang beragama Hindu
1   orang beragama Buddha
1   orang beragama lainnya

Suku
41 orang suku Jawa
15 orang suku Sunda
4   orang suku Tionghoa
3   orang suku Melayu
3   orang suku Madura
3   orang suku Batak
3   orang suku Minang
2   orang suku Betawi
2   orang suku Bugis
2   orang suku Arab
2   orang suku Banten
20 orang suku lainnya

Teknologi
23 orang memiliki akses internet
52 orang memiliki HP
19 orang memiliki Profile di Facebook
12 orang memakai Twitter
1   orang memiliki Blog

Akses sumber berita
19 orang membaca majalah/ surat kabar
90 orang menonton televisi
23 orang mendengar radio

Kesehatan
31 orang mempunyai keluhan mengenai masalah kesehatan dalam sebulan terakhir.
69 orang mengobati sendiri penyakitnya.
27 orang menggunakan obat tradisional.
44 orang berobat jalan dalam waktu sebulan terakhir.
2   orang rawat inap dalam waktu setahun terakhir.
27 orang merokok
22 orang aktif berolahraga

Perumahan
78 memiliki rumah sendiri
10 mengontrak / sewa
94 rumah memiliki penerangan listrik
44 rumah memiliki sumber air yang layak

Ekonomi
1   orang menguasai 95% perekonomian
99 orang berebut 5% sisanya
12 orang hidup dalam kemiskinan (berpenghasilan kurang dari Rp250,000 perbulan)
6   orang tidak memiliki pekerjaan (menganggur)

Sunday, October 7, 2012

Tolak Upaya Kriminalisasi KPK !

kriminalisasi kpk

Sebagaimana telah diperkirakan oleh banyak pihak, investigasi KPK mengenai kasus simulator SIM yang melibatkan petinggi Polri, Irjen Pol Djoko Susilo, ternyata berbuntut panjang. Meskipun (tentu saja) dibantah oleh para petinggi Polri, indikasi adanya upaya kriminalisasi KPK sangat jelas terlihat.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan Irjen (Pol) Djoko Susilo sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya, yakni Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo serta Budi Susanto dan Sukotjo Bambang yang menjadi rekan pengadaan dalam proyek simulator SIM. Djoko bersama tiga tersangka itu diduga melakukan penyalahgunaan wewenang sehingga mengakibatkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Selain itu, Djoko juga diduga menerima suap miliaran rupiah dari Budi Susanto terkait proyek tersebut. Uang suap itu diduga diberikan Budi melalui Sukotjo. 

Pada hari Jumat (5 Oktober 2012) kemarin, Djoko akhirnya memenuhi panggilan KPK dan diperiksa selama delapan jam mengenai keterlibatannya dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM tersebut.

Bersamaan dengan diperiksanya Djoko Susilo, pada pukul 18:00 WIB (5/10) kemarin, belasan anggota polisi dari Polda Bengkulu dengan bersenjata lengkap menyerbu gedung KPK untuk menangkap Kompol Novel Baswedan, anggota Polri yang saat ini menjadi salah satu penyidik di KPK. Alasan penangkapan Novel adalah karena dugaan keterlibatannya dalam kasus penembakan terhadap tersangka pencurian sarang burung walet di Bengkulu, tahun 2004 silam.

Lucunya, polisi mengaku baru semalam-lah (4/10) mereka yakin akan keterlibatan Novel dalam kasus yang terjadi tahun 2004 lalu itu. Kejadian secara detailpun masih simpang siur, sebagian petinggi Polri menyatakan Novel  dengan sengaja menembak sendiri para korban. Namun sebagian lagi menyebut Novel hanya menyuruh anak buahnya untuk menembak 6 tersangka hingga menyebabkan 1 orang akhirnya tewas.

Padahal sejak tahun 2004 lalu, ketika Novel masih berpangkat Iptu dan menjabat sebagai Kasatreskrim Polda Bengkulu hingga sekarang, nyaris tidak pernah terdengar satu aib-pun mengenai dirinya. Tapi kini ketika Novel bertugas di KPK dan menjadi penyidik dalam kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan atasannya, tiba-tiba saja polisi memiliki banyak alasan untuk menangkapnya, aneh bin ajaib!

Di tengah semakin menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian, kini masyarakat malah kembali  disuguhi adegan tidak lucu yang secara terang-terangan mengindikasikan adanya upaya kriminalisasi terhadap KPK. Padahal tindakan ini justru membuka aib bagi institusi kepolisian sendiri, mengingat Novel Baswedan masih merupakan salah satu anggota Polri pada saat peristiwa 2004 yang lalu itu terjadi. Atau barangkali polisi memang sengaja mengorbankan Novel untuk menutupi aib yang lebih besar?

Sementara itu, masyarakat yang sudah merasa muak dengan segala sandiwara dan upaya skenario pelemahan dan kriminalisasi KPK terus memberikan dukungannya. Selain berbondong-bondong mendatangi gedung KPK, dukungan juga mengalir melalui jejaring sosial Facebook dan Twitter (#savekpk & #saveindonesia). 

Polisi dan DPR mungkin bisa saja berupaya mengkriminalisasi dan melemahkan KPK, namun tidak tidak akan mampu mengkriminalisasi dan melemahkan suara rakyat.