Debat calon gubernur DKI Jakarta dalam rangka Pilkada putaran kedua yang disiarkan oleh JAKTV di Hotel Gran Mulia, Kuningan tadi malam (14 September 2012) berlangsung cukup seru. Debat Cagub dihadiri oleh 4 orang akademisi sebagai panelis yaitu Yayat Supriyatna, pengamat tata kota; Ninasapti Triaswati, dosen Fakultas Ekonomi UI; Siti Nurbaya Bakar, ahli Ilmu Pemerintahan; serta Imam B Prasojo, Sosiolog UI.
Acara dimulai dengan pemaparan visi singkat dari masing-masing calon, kemudian pada session kedua dilanjutkan dengan pemaparan misi dan penyampaian program masing-masing pasangan calon secara lebih detail.
Dalam pemaparan visi-misi, terlihat bahwa pasangan Jokowi-Ahok lebih siap dengan program-programnya. Dan didukung dengan alat peraga berupa gambar maket kampung susun untuk penghuni pemukiman kumuh di sepanjang bantaran kali Ciliwung dan konsep monorel kapsul yang ditawarkannya sebagai alternatif mengatasi kemacetan di Jakarta. Sementara Fauzi Bowo (Foke) terlihat berusaha memaparkan mengenai keberhasilannya memimpin Jakarta selama 5 tahun ini, dengan argumen-argumen yang cenderung bersifat theoretical tanpa menyentuh realita sesungguhnya.
Dalam masalah kemacetan, Fauzi Bowo menyebut jumlah kendaraan yang semakin bertambah dan tidak seimbang dengan pembangunan jalanlah yang menyebabkan kemacetan di Jakarta semakin parah. Ketika salah seorang panelis menyoroti mengenai kebijakannya menghentikan pembangunan monorel, Fauzi Bowo membela diri dengan menyebut bahwa hal itu adalah kegagalan dari investor dan bukan pemerintah, sehingga solusi yang ditawarkan adalah melanjutkan pembangunan busway (yang mana, program Busway adalah program peninggalan jamannya Sutiyoso yang mestinya sudah selesai pada tahun 2010 lalu).
Pada sesi-sesi yang lain, Foke juga terlihat selalu ingin menunjukkan superioritasnya sebagai seorang "ahli". Saat Jokowi menyinggung bahwa Pemprov DKI termasuk yang paling korup di Indonesia versi PPATK, Foke bereaksi dengan marah: “Hasil PPATK itu sudah dijelaskan dan bukan seperti itu penjelasannya. Sebagai kepala daerah, jangan menyebar fitnah dengan mengandalkan informasi yang salah,” kata Foke. “Pak Joko, mohon maaf, Pak Joko mohon maaf. Kalau Pak Joko bukan calon gubernur ini tidak masalah, tapi karena Pak Joko calon gubernur, ini bisa masalah bagi masyarakat banyak,” tambahnya.
Menanggapi emosi Foke tersebut, Jokowi hanya menjawab sambil tersenyum santai.
"Ya, PPATK memberikan angka seperti itu, ya, berdasarkan fakta yang didapat. Dan saya percaya PPATK sebagai lembaga yang resmi," jawab Jokowi.
Kata-kata "fitnah" kelihatannya dimanfaatkan oleh pasangan Foke-Nara sebagai alat untuk mematahkan argumen Jokowi-Ahok. Salah satunya dinyatakan oleh Nachrowi Ramli (Nara) ketika membantah pernyataan Ahok mengenai pemerataan pendidikan di Jakarta. “Kalau bicara harus ada datanya, jangan fitnah Pak Ahoook…” ujar Nara dengan nada suara memanjang saat menyebut nama Ahok.
“Ini saya ada datanya,” jawab Ahok sambil terkesan menahan tawa.
Selanjutnya Nara dalam argumennya justru malah menyebutkan persentase angka kelulusan di Jakarta dari SD sampai SMK, yang tentu saja tidak nyambung dengan masalah pemerataan pendidikan.
Dalam beberapa kesempatan Foke juga terlihat emosional. Seperti ketika moderator acara, Rahma Sarita mengingatkan bahwa waktunya sudah habis dan saatnya memberi kesempatan pada Jokowi untuk menanggapi, Foke bereaksi dengan marah "Saya belum selesai bicara! This is our show!" bentaknya.
Ketika Foke memaparkan data-data mengenai jumlah penduduk miskin di Jakarta yang disebutnya paling rendah se-Indonesia, Jokowi menanggapi "Soal angka kemiskinan, pada saat Pak Foke masuk berapa, dan saat ini berapa? Apakah memang dari dulu sudah 3%, atau memang sudah seperti itu, atau bagaimana?" tanya Jokowi.
Secara umum, debat berlangsung cukup seru dengan masing-masing kandidat mengemukakan argumennya masing-masing. Yayat Supriyatna, pengamat tata kota Universitas Trisakti yang juga salah seorang panelis, mengatakan dari debat Jumat malam terlihat dua karakter yang dapat disuguhkan kepada para calon pemilih di putaran kedua Pilgub, pekan depan.
"Ada satu karakter yang mengedepankan konsep dan akademika, dan ada yang lebih empiris," ujar Yayat meski enggan menyebutkan siapa yang dimaksud.
"Saat ini ya tergantung pilihan masyarakat saja, mau yang dibuai dengan konsep belaka atau pilih yang memang memiliki tujuan atas tindakan akhir," paparnya.
Menurut Yayat, dirinya melihat ada satu karakter yang memang sudah menguasai dokumen di luar kepala dan ada satu yang memang pendatang baru yang memang mencoba bermain dari sisi luar.
"Nah itu kalau dibandingkan memang menarik, yang satu berpengalaman dengan data, yang satu sisi memberikan bukti," sambungnya.
Keputusan akhir memang ada di tangan para pemilih, jadi silahkan anda saksikan langsung jalannya debat antar pasangan Cagub DKI berikut ini:
No comments:
Post a Comment