Masa Kecil Jokowi
Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama panggilan Jokowi, terlahir
di Surakarta, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1961. Di masa kecilnya, Jokowi bukanlah
orang yang berkecukupan. Ia hanya seorang anak tukang kayu, nama bapaknya Noto
Mihardjo, hidupnya amat prihatin, dia besar di sekitar bantaran sungai. Ia tahu
bagaimana menjadi orang miskin dalam arti yang sebenarnya.
Bapaknya seorang penjual kayu di pinggir jalan, sering juga
menggotong kayu gergajian. Jokowi kecil sering ke pasar untuk membantu
bapaknya. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para pedagang
dikejar-kejar aparat, diusir tanpa rasa kemanusiaan, pedagang ketakutan untuk
berdagang. Ia prihatin, merasa sedih kenapa kota tak ramah pada manusia.
Sewaktu SD ia berdagang apa saja untuk dikumpulkan biaya
sekolah, ia mandiri sejak kecil karena tak ingin menyusahkan bapaknya yang
tukang kayu itu. Ia mengumpulkan uang receh demi receh yang dicelenginya di
tabungan ayam. Kadang ia juga mengojek payung, membantu ibu-ibu membawa
belanjaan, atau jadi kuli panggul. Sejak kecil ia tahu bagaimana susahnya
menjadi rakyat, tapi disinilah ia menemukan sisi kegembiraannya.
Ia sekolah tidak dengan sepeda, tapi jalan kaki. Ia sering
melihat suasana kota, di umur 12 tahun dia belajar menggergaji kayu, tangannya
pernah terluka saat menggergaji, tapi ia senang dan ia gembira menjalani
kehidupan itu, baginya “Luwih becik rengeng-rengeng dodol dawet, tinimbang
numpak mercy mbrebes mili”. Keahliannya menggergaji kayu inilah yang kemudian
membawanya ingin memahami ilmu tentang kayu.
Masa Kuliah
Setelah lulus dari SMAN 6 Solo, Joko Widodo meneruskan
kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Karena tergolong mahasiswa
yang bermodal pas-pasan, ia harus pandai-pandai mengelola keuangan. Ia juga
harus sering menahan diri bila menginginkan sesuatu. Kondisi ini belakangan
menjadi bermanfaat ketika ia menggeluti dunia bisnis sebagai pengusaha mebel.
Semasa kuliah, Jokowi mengisi waktunya dengan kegiatan
lintas alam seperti naik gunung dan sebagainya. "Kegiatan saya waktu
menjadi mahasiswa itu naik gunung, main basket dan camping," ujar lulusan
SDN 111 Tirtoyoso Solo ini.
Menjadi Pengusaha Mebel
Setelah lulus menjadi Sarjana Kehutanan UGM di tahun 1985,
Jokowi tidak langsung bekerja di Solo. Dia merantau ke Aceh dan bekerja di
sebuah BUMN. Tidak lama kemudian, ia kembali ke Solo dan bekerja di CV. Roda
Jati, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan.
Setelah merasa cukup dengan pengalamannya di bisnis
perkayuan, Jokowi memutuskan berhenti bekerja dan memulai berwirausaha di
bidang mebel di tahun 1998. Jatuh bangun dalam merintis usaha juga telah
dirasakannya. Dengan kesabaran dan kerja keras, ia kembangkan bisnis dari
pemain lokal menjadi eksportir dan kemudian menjabat sebagai ketua Asosiasi
Mebel Indonesia (ASMINDO) cabang Surakarta.
Asal Nama Nama Julukan "Jokowi"
“Jokowi itu nama pemberian dari buyer saya dari Prancis,”
begitu kata Wali Kota Solo, Joko Widodo, saat ditanya dari mana muncul nama
Jokowi. Kata dia, begitu banyak nama dengan nama depan Joko yang jadi eksportir
mebel kayu. Pembeli dari luar bingung untuk membedakan, Joko yang ini apa Joko
yang itu. Makanya, dia terus diberi nama khusus, ‘Jokowi’. Panggilan itu
kemudian melekat sampai sekarang. Di kartu nama yang dia berikan tertulis,
Jokowi, Wali Kota Solo. Belakangan dia mengecek, di Solo yang namanya persis
Joko Widodo ada 16 orang.
Jokowi Sebagai Walikota Solo
Kesuksesan sebagai seorang pengusaha ternyata tidak
memuaskan jiwa seorang Jokowi. Di saat krisis berkepanjangan menimpa bangsa
ini, dimulai dari tahun 1998, Jokowi melihat masih banyak yang harus dilakukan
untuk mengubah bangsa ini khususnya mengubah nasib masyarakat yang kurang
mampu. Dari situlah awal jiwa kepemimpinannya terpanggil untuk membawa
perubahan-perubahan yang berorientasi pada masyarakat kecil.
Jokowi memulai niatnya dengan memasuki dunia politik
praktis. Ia memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan
Megawati Soekarnoputri sebagai kendaraan politiknya yang saat itu sedang
populer.
Pada awal karirnya di dunia politik, banyak yang meragukan
kemampuannya karena sosoknya lebih mirip
tukang becak di alun-alun kidul yang jauh dari kesan gagah, dalam masyarakat
kita, sosok dengan ‘bleger’ yang besar lebih mendapat simpati ketimbang orang
dengan sosok kurus, ceking dan tak berwibawa. Itulah yang dialami Jokowi, tapi
beruntung, saat itu masyarakat Solo sedang bosan dengan pemimpin lama yang itu
itu saja, mereka ingin mencoba sesuatu yang baru. Akhirnya Jokowi terpilih
sebagai walikota dengan kemenangan tipis
menggantikan Slamet Suryanto, walikota sebelumnya, pada tahun 2005.
Jokowi tidak mengambil jarak dengan masyarakat yang
dipimpinnya, tidak ada perubahan sikap setelah ia menjabat sebagai seorang
walikota.
Menurut Jokowi,
menjadi pemimpin harus dimulai dengan niat yang lurus dan ikhlas. Baginya,
jabatan adalah suatu amanah yang berat dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Amanah
itu diterimanya dengan senang hati dan dengan penuh tanggung jawab.
Sikap rendah hati walikota Solo ini tidaklah dibuat-buat.
Sikapnya yang tidak membedakan, sangat dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Mulai dari kalangan pengusaha sampai tukang becak sangat mengenal sosok Jokowi.
Bagi masyarakat Solo, Jokowi adalah seorang pemimpin yang
sangat peduli dengan kehidupan mereka. Mereka menemukan kepribadian yang sangat
menarik pada diri Jokowi. Tidak ada jarak antara pemimpin dan yang dipimpin. Hampir tiap mallam, bila tidak ada acara
resmi, Sang Walikota ini bisa dengan mudah ditemui.
Di lorong-lorong
pasar dan jalan-jalan di Kota Solo, Jokowi kerap asyik mengobrol dan mendengar
keluh kesah rakyatnya tanpa jarak. Bahkan rumahnya pun sering mendapat
kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat. "Rumah dinas ini toh rumah
rakyat. Sudah ribuan warga Solo yang berkesempatan berkunjung ke sana. Jangan
sampai rakyat kesulitan bertamu ke rumahnya sendiri," tutur Jokowi.
Bukan itu saja. Sudah bukan rahasia lagi kalau ternyata gaji
bulanan sang walikota ini tidak pernah diambilnya sejak ia menduduki jabatan.
Ia lebih memilih menandatangani slip gaji tanpa pernah melihat upahnya.
Kabarnya uang itu digunakannya untuk membantu rakyat yang membutuhkan. Untuk
memenuhi nafkah keluarga, Jokowi mengaku masih memiliki uang dari usaha mebel
yang dikelola bersama sang istri tercinta.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang
pesat. Gebrakan awal yang dilakukannya dalam membenahi Solo adalah melakukan
branding (pencitraan) dengan menjadikan Solo sebagai 'The Spirit of Java".
Ia juga mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan
Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan
Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada Oktober 2008.
Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah
Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang
terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun
2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.
Kemudian, ia mendeklarasikan Solo sebagai Cyber City. Untuk
mengusung konsep tersebut, pemerintah kota Solo telah memulainya dengan
memasang layanan free hotspot di 51 titik kelurahan, 5 titik kecamatan dan 17
titik di area publik. Selanjutnya diteruskan dengan pemasangan hotzone
sepanjang 7 kilometer antara kawasan Kleco hingga Panggung.
Dalam deklarasi Solo Cyber Day 2011, sebanyak 1.500 peserta
ikut ambil bagian. Mereka terdiri dari pelajar, masyarakat umum hingga blogger.
Para peserta tersebut membuka jaringan media sosial seperti twitter, facebook,
kaskus dan blog. Tujuannya adalah semata-mata untuk mempromosikan kota Solo.
Dalam menata kotanya, Jokowi juga selalu punya
inovasi-inovasi baru seperti menggelar sayembara penataan kota yang diikuti
oleh sejumlah arsitek dari seluruh Indonesia. Ke depannya, Solo akan selalu
menggelar sayembara untuk penataan kawasannya. Menurut Jokowi, dalam konsep
pembangunan menata kota, ia berharap ide pembangunan kota muncul dari banyak
orang bukan hanya dari satu orang atau satu kontraktor. Terobosan ini sudah ada
payung hukumnya dan merupakan terobosan pertama kali di Indonesia.
Bukan itu saja, Jokowi juga adalah seorang forrester sejati.
Kecintaannya pada tumbuhan, taman, hutan dan kayu membawanya keliling dunia
untuk memasarkan mebel dan belajar mengelola tanaman dengan baik. Inilah yang
kemudian banyak menginspirasi bapak 3 orang anak ini dalam mengembalikan kota
Solo ke jati dirinya sebagai kawasan tradisi yang sejuk. "Grand design
tata ruang Solo adalah eco-cultural city. Lingkungan hidup dan kebudayaan hidup
berdampingan," harapnya.
Ambisinya dimulai dengan merintis hijauan di sepanjang jalur
Citywalk. Jokowi mengembangkan jalur pedestrian di berbagai penjuru di kotanya.
Taman-taman kota telah direvitalisasi. Kawasan bantaran sungai ia sulap menjadi
Green Belt atau Sabuk Hijau. Contohnya, Taman Sekartaji seluas 38 hektare dan
Taman Balekambang dijadikannya peneduh, paru-paru kota dan daerah tangkapan
air.
Maka tidak salah bila Wakil Presiden Boediono mencanangkan
Solo sebagai the Indonesian City of Charm dalam the 7th China-ASEAN Expo, di
Nanning, Guangxi, Cina, Oktober 2010. Untuk mengupayakan ikon tersebut, Jokowi
bercita-cita mewujudkan Solo menjadi Kota Dalam Kebun. Setiap ruang publik
terbuka yang belum ada hijauannya, ditanami tanpa kecuali. Pagar-pagar dinding
dan besi dirobohkan dan diganti pagar hidup (tanaman).
Dia berharap, 30-35 persen wilayah kota akan menjadi kebun
dan 15 tahun ke depan bahkan akan menjadi hutan. "Dalam jangka panjang, desain tata kota ini
adalah Kota Dalam Hutan. Saya akan memimpin sendiri program ini. Saya akan
datangi setiap rumah, bank, kantor, sekolah, dan gedung lainnya, mengajak
rakyat menanam pagar hidup dan beraneka pohon," ujarnya.
Selain itu, untuk
melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan kota, bila ia mempunyai
program pembangunan kota, biasanya terlebih dahulu ia menulis idenya di media
lokal untuk mendapatkan opini maupun tanggapan masyarakat. Setelah itu
baru dirembug bersama apakah rencana tersebut jadi dilakukan atau tidak. Hal
itu baginya lebih utama, dari pada mengajukan langsung kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Alasan beliau, sebab ia merasa tidak pintar melakukan
deal-deal yang nantinya akan tersangkut hukum dan lainnya.
Jokowi berprinsip bahwa untuk menjadi pemimpin rakyat harus
berani melawan arus. Pemimpin itu diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi
tidak saja bagi rakyat yang dipimpin namun juga bagi Indonesia bahkan dunia
internasional. Selanjutnya, menurut beliau, salah satu strateginya dalam
menjalankan pemerintahan adalah membangun trust (kepercayaan).
"Kepercayaan bisa dibangun dengan dialog, memenuhi janji dan menunjukkan
bukti nyata. Setelah trust didapat maka jalan akan semakin mudah," ujarnya.
Menertibkan Pedagang Kaki Lima
Strategi komunikasi intensif dan sabar dengan prinsip
"memanusiakan" warganya adalah cara yang dilakukannya ketika
menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL) di daerah Banjar Sari yang sudah puluhan
tahun mendominasi tata kota Solo. Ketika harus memindahkan PKL, ia lebih dulu
mengundang makan para pelaku sektor informall itu. Ia tak memilih jalan pintas:
mengerahkan aparat atau membakar lokasi. Setelah undangan makan yang ke-54,
baru ia yakin pedagang siap dipindahkan. Acara pemindahan pun berlangsung
meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton.
Berhasil dengan Banjarsari, Joko Widodo merambah PKL di
wilayah lain. Di jalan depan Stadion Manahan, sekitar 180 pedagang menjadi
sasarannya, mereka dibuatkan shelter dan gerobak. Penjual makanan yang terkenal
enak di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan.
Lokasi kuliner yang hanya buka pada mallam hari dengan menutup separuh Jalan
Mayor Sunaryo tersebut, sekarang menjadi tempat jajan paling ramai di kota itu.
Jokowi memperlakukan PKL sama terhormatnya dengan pedagang
pasar tradisional, tenant, toko, mall, supermarket, dan pelaku ekonomi lainnya.
Ia bahkan memberikan perhatian lebih pada usaha kecil menengah.
Di era kepemimpinannya pula, pemerintah kota Solo berhasil
merevitalisasi 15 pasar tradisional sehingga mampu bersaing dengan pasar
modern. Lalu, merelokasi 23 titik PKL dan mendirikan 5 Badan Usaha Milik
Masyarakat (BUMM) sebagai percontohan. Targetnya, ketika masa jabatannya berakhir pada 2015, sebagian besar dari
38 pasar tradisional Solo sudah dibangun ulang.
Menurutnya,
kesalahan terbesar seorang kepala daerah adalah memberi kemudahan izin kepada
investor besar untuk membangun mall dan supermarket, namun tidak memberi ruang
bagi PKL dan mengabaikan pasar tradisional. "PKL adalah aset.
Terbukti, merekalah yang paling mampu bertahan ketika Indonesia diterpa badai
krisis moneter. Mereka harus diberi fasilitas, entah dalam bentuk shelter,
tenda, gerobak, atau pasar," tegasnya. Sebaliknya, Jokowi mempersulit izin
pendirian mall dan supermarket.
Selama menjabat walikota, ia mengaku menerima permohonan
izin untuk lebih dari 20 mall, namun semua ditolaknya. Grand Mall dan Solo
Square adalah dua mall di Solo yang diberi izin walikota sebelumnya. Tapi,
Jokowi mengaku mengizinkan pendirian Paragon Apartemen. Yang terpenting,
menurut dia, investor harus bersedia memberikan fasilitas publik. "Bantuan
asing untuk pembangunan banyak yang datang ke Solo. Antara lain, dari UN Habitat, Aus Aid, GTZ, dan
CDIA. Namun untuk investasi, saya mengutamakan investor lokal yang
kompeten dan kompetitif."
Jokowi juga telah menginstruksikan kepada semua jajarannya
untuk memangkas jalur pengurusan perizinan dan administrasi kependudukan menjadi
lebih murah dan mudah. Proses perizinan yang dulu butuh waktu delapan bulan,
dipangkasnya menjadi enam bulan, lalu empat bulan dan sekarang cukup enam hari.
Begitu pun pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sebelumnya 2-3 minggu,
kini cukup satu jam.
Dengan gaya kepemimpinannya, Jokowi sukses mendongkrak
Penghasilan Asli Daerah yang hanya Rp 54 miliar di tahun pertama ia menjabat,
menjadi Rp 146 miliar pada 2010. Sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kota Solo sebesar Rp 1,03 triliun, pendapatan per kapita Rp 14,6
juta, dan Upah Minimum Regional Rp 835 ribu.
Karena prestasinya itulah, Jokowi mendapat banyak apresiasi
dan penghargaan. Majalah Tempo memasukkannya sebagai salah satu dari "10
Tokoh 2008" kategori pemimpin daerah terbaik se-Indonesia. Ia juga pernah
dianugerahi Bung Hatta Award 2010. Semua penghargaan itu tidak membuat Jokowi
lupa daratan. Ia tetap berusaha rendah hati dan tampil apa adanya. "Saya
ya tetap begini ini. Yang penting, jangan coba-coba menyuap. Jangan coba-coba
korupsi jika tak ingin saya pecat!" serunya.
Dalam kiprahnya di birokrasi, Jokowi memang selalu menjaga
diri dan keluarganya dari godaan korupsi. Ia dengan tegas memisahkan urusan
pemerintah, perusahaan mebel miliknya dan keluarga. Bukan itu saja, ia secara
periodik melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atas dedikasinya itu, banyak kalangan terutama dari PDIP
yang berharap Jokowi kelak akan menjadi pejabat negara di level lebih tinggi
dengan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Namun apakah ia tertarik? "Sama
sekali endak. Biarlah yang pintar-pintar saja di sana. Kelak, kalau periode
kedua sudah habis, saya kembali jadi tukang kayu saja," ujarnya sambil
tertawa.
No comments:
Post a Comment