Monday, August 27, 2012

Bai Fang Li, Tukang Becak Berhati Mulia



Namanya BAI FANG LI. Dia adalah seorang tukang becak (rickshaw) di kota Tianjin, China. Di sepanjang hidupnya, ia mencari nafkah dengan mengayuh becak, memberi pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan transportasi murah dari satu tempat ke tempat lain.

Tubuhnya kecil, bahkan terlalu kecil dibandingkan dengan sesama tukang becak lainnya. Namun, ia sangat energik dan antusias. Setiap hari dia memulai rutinitasnya pada pukul 6 pagi, mengelilingi kota dengan becaknya untuk mencari penumpang atau mengantar mereka ke tempat tujuannya. Dia bekerja sepanjang hari, Bai Fang Li jarang pulang sebelum pukul 8 malam.

Semua pelanggan menyukai Bai Fang Li karena ia ramah dan murah senyum. Dia tidak pernah menentukan biaya yang harus dibayar oleh pelanggannya, tapi dia bergantung pada kemurahan hati para pelanggan untuk membayar jasanya. Karena hati yang baik, orang-orang lebih memilih untuk menggunakan jasanya lebih dari yang lain. Banyak dari mereka yang bersedia untuk membayar lebih daripada tarif  biasanya. Mungkin juga ini karena mereka melihat betapa keras ia, dengan tubuh kecilnya, harus mengayuh becak dengan susah payah sampai napasnya terasa berat.

bai fang li at home

Bai Fang Li tinggal di sebuah gubuk tua reyot di daerah kumuh di kota Tianjin. Di dalam gubuk itu hanya ada satu ruangan dimana ia harus menyewa dan berbagi tempat bersama beberapa orang lainnya. Praktis tidak ada perabotan sama sekali di dalam gubuknya, kecuali sepotong karpet tua yang dipakainya untuk tidur setelah seharian bekerja menarik becak. Di ruangan ini juga, ia hanya memiliki sebuah kotak kardus tua tempat ia menyimpan selimut tua miliknya yang sudah lusuh dan penuh jahitan. Ada juga piring dan cangkir kaleng, yang ditemukannya di tumpukan sampah di sekitar gubuk, yang dipakainya untuk makan dan minum. Di sudut pondok, ada sebuah lampu minyak untuk memberikan penerangan di malam hari.

Bai Fang Li tidak memiliki keluarga atau kerabat di kota tempat tinggalnya. Orang-orang hanya tahu bahwa ia datang dari kota lain. Namun, ia tidak pernah merasa kesepian karena selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyukainya. Mereka mencintainya karena sikap positif dan kemurahan hatinya. Dia membantu orang yang membutuhkan bantuan, dan melakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

Dari penghasilannya sebagai tukang becak yang meskipun tidak seberapa, seharusnya ia mampu membeli makanan dan pakaian yang lebih baik. Namun, ia malah menyumbangkan sebagian besar penghasilannya untuk sebuah panti asuhan di Tianjin yang menangani lebih dari 300 anak yatim piatu. Juga untuk  sekolah yang dikelola oleh panti asuhan tersebut .

Sebuah insiden yang mengubah cara hidupnya

Bai Fang Li mulai menyumbang untuk panti asuhan pada tahun 1986, yaitu di saat usianya mencapai 74 tahun. Ini adalah kisah bagaimana hatinya tersentuh dan bagaimana ia membuat keputusan untuk melakukan apa yang telah ia lakukan sekarang.

Pada suatu hari Bai Fang Li sedang beristirahat sejenak setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia melihat di jalan, ada seorang anak laki-laki kurus berumur kira-kira enam tahun sedang menawarkan bantuan kepada seorang wanita untuk membawakan belanjaannya. Ia melihat anak kecil ini membawa tas belanjaan yang berat dengan susah payah, tapi juga terlihat bersemangat untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Ada senyum lebar terlukis di wajah anak itu ketika telah berhasil menyelesaikan tugasnya dan menerima uang sebagai imbalan  atas jasanya. Anak ini mendongak ke langit menggumamkan sesuatu seolah-olah ia sedang berdoa dan mengucap syukur atas berkat yang baru saja diterimanya. Bai menyaksikan anak itu membantu beberapa orang yang sedang berbelanja di pasar, dan setiap kali menerima pembayaran atas jasanya, ia mendongak ke langit dan menggumamkan sesuatu.

Kemudian, Bai melihat anak itu pergi ke tumpukan sampah dan menggali seolah mencari sesuatu. Ketika behasil menemukan sepotong roti kotor, anak itu terlihat begitu senang. Ia membersihkan roti itu sebaik-baiknya, lalu memakannya seolah-olah itu adalah sepotong roti yang datang dari sorga. Hati Bai sangat tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Dia mendekati anak itu dan menawarkan untuk berbagi makan siang dengannya. Bai bertanya mengapa anak itu tidak membeli makan siang yang layak dengan uang yang diperoleh tadi. Anak itu berkata, "Saya akan menggunakan uang itu untuk membeli makanan untuk adik-adik saya." Bai bertanya, "Di mana orang tuamu?" Anak itu menjawab, "Orang tuaku sehari-hari bekerja sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah. Namun, semenjak satu bulan yang lalu, mereka menghilang dan aku belum pernah melihat mereka lagi. Jadi, aku harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan juga kedua adikku.."

Bai Fang Li meminta anak itu untuk membawanya menemui saudara-saudara perempuannya. Bai menangis ketika melihat kedua gadis itu, berumur 5 dan 4 tahun. Gadis-gadis itu begitu kotor dan kurus, dan pakaian mereka sangat lusuh dan kotor. Para tetangga tidak peduli dengan kondisi ketiga anak karena mereka juga sedang berjuang untuk mengatasi masalah kehidupan mereka sendiri.

Bai Fang Li membawa ketiga anak itu ke sebuah panti asuhan di Tianjin. Dan mengatakan kepada manajer panti asuhan bahwa ia akan memberikan uang yang didapatnya ke panti asuhan untuk membantu anak-anak di sana mendapatkan makanan, perawatan dan pendidikan yang layak. Sejak itu Bai Fang Li memutuskan untuk bekerja lebih keras dan dengan tekad yang lebih dalam, mengayuh becak untuk mendapatkan uang guna membantu anak-anak di panti asuhan. Dia mulai bekerja lebih awal dan pulang terlambat untuk mendapatkan uang ekstra. Dari semua pendapatannya setiap hari, ia menyisihkan sedikit untuk membayar sewa gubuk kecilnya. Kadang-kadang untuk membeli sedikit makanan. Sisa pendapatan disumbangkannya semua ke panti asuhan untuk membantu mereka memberi makan dan merawat anak-anak.

Dia sangat senang melakukan semua hal ini meskipun dengan segala keterbatasannya. Dia justru merasa bahwa adalah sebuah kemewahan bahwa ia masih punya tempat tinggal, makanan untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, meskipun pakaian itu ia dapat dengan memulung dari tempat pembuangan sampah. Dia selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya.

bai fang li in snow

Bai Fang Li tidak pernah libur, ia bekerja sebagai tukang becak 365 hari setahun, tanpa mempedulikan cuaca, ia tetap bekerja meskipun hawa dingin di saat turun salju atau ketika matahari bersinar sangat terik dan panas. Ketika ditanya mengapa ia bersedia mengorbankan begitu banyak, dia selalu berkata, "Saya selalu merasa menyesal bahwa saya bodoh dan tidak berpendidikan, tidak masalah kalau saya menderita, asalkan anak-anak itu memiliki sesuatu untuk dimakan dan dapat memiliki pendidikan yang layak untuk masa depannya nanti. Saya merasa bahagia dengan melakukan semua hal ini. "




Memberi Tanpa Mengharapkan Apapun

Bai Fang Li mulai memberikan sumbangan kepada panti asuhan sejak 1986. Dia tidak pernah meminta imbalan apa pun. Dia bahkan tidak tahu anak yang mana yang diuntungkan dari sumbangannya. Selama 20 tahun berikutnya, Bai Fang Li mengayuh becaknya untuk satu tujuan: memberikan sumbangan kepada anak-anak di panti asuhan untuk membantu mereka hidup dengan lebih baik. Selama 20 tahun, secara total ia telah menyumbangkan penghasilannya sebanyak RMB 350.000 (sekitar Rp 500 Juta) ke panti asuhan.

Ketika  usianya mencapai 90 tahun, ia membawa seluruh sisa tabungannya sebanyak RMB500 (sekitar Rp 750.000) ke sebuah sekolah panti asuhan bernama Yao Hua. Tidak banyak, tapi itu adalah seluruh uang yang dimilikinya.

Bai Fang Li berkata dengan sedih, "Saya sekarang sudah terlalu tua dan lemah, saya tidak kuat lagi mengayuh becak, dan tidak dapat melanjutkan memberi sumbangan. Ini mungkin adalah sumbangan terakhir saya" Semua guru dan siswa di sekolah itu tersentuh dan menangis mendengarnya.

bai fang li in hospital

Pada bulan Mei 2005, di usianya yang ke 93, Bai Fang Li di diagnosa mengidap kanker paru-paru. Ia meninggal di rumah sakit setempat empat bulan kemudian. Ratusan orang yang menghadiri pemakamannya menangis, mereka merasa sangat kehilangan ditinggalkan oleh orang tua yang baik hati itu. Ribuan orang lainnya merasa tersentuh oleh pengabdiannya yang tidak kenal pamrih. Bai Fang Li meninggal dalam keadaan miskin, ia tidak meninggalkan apapun selain semangat pengabdian dan cinta tulusnya kepada sesama. 

No comments:

Post a Comment